Suku Lubai merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun suku
Melayu Palembang. Suku Lubai bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai Lubai Kecamatan
Lubai, Kabupaten
Muara Enim, Provinsi
Sumatera Selatan.
Bahasa
Bahasa Lubai yang dituturkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di
pesisir atau tepian Sungai Lubai. Sungai Lubai merupakan sungai kecil
yang mempunyai mata air di dekat Sungai Enim dan bermuara di Sungai
Rambang di Kabupaten Ogan Ilir. Bahasa Lubai adalah anak bahasa rumpun
Melayu Palembang.
Pakaian Tradisional
Baju tradisional Lubai merupakan suatu pakaian yang biasa digunakan
untuk menutup badan bagian atas oleh masyarakat Lubai dalam kehidupan
sehari-hari. Secara umum baju yang dipergunakan oleh masyarakat Lubai
sama dengan yang dipergunakan oleh masyarakat lainnya di Sumatera
Selatan. Baju Kurung. Baju kurung adalah baju panjang untuk perempuan,
ukuran panjangnya sampai kelutut ada dibagian dadanya dibelah dan juga
tidak. Pengertian kurung secara tidak langsung telah membawa arti
mengurung atau menutup anggota tubuh. Cara berpakaian seperti ini sesuai
dengan konsep berpakaian cara Melayu setelah kedatangan Islam, sehingga
istilah ‘kurung’ diartikan sebagai baju yang longgar dan panjang. Baju
Teluk Belanga. Baju Teluk Belanga atau dalam bahasa Lubai disebut baju
Teluk Belange biasanya dipakai oleh orang orang yang menjadi pejabat
pemerintahan ataupun yang berpunya penghasilan banyak di Lubai. Potongan
atau model baju Teluk Belanga pada bagian lehernya hanya di jahit
dengan sulaman.
Alat Produksi
Suku Lubai sejak beberapa generasi terdahulu, telah menggunakan alat produksu sebagai berikut :
- Beliung adalah alat untuk menebang kayu di didaerah Lubai, rupanya
seperti kapak dengan mata melintang. Ada pribahasa bersua beliung dengan
sangkal, sepaham dan setujuan).
- Cangkul adalah alat untuk menggali dan mengaduk tanah, dibuat dari
lempengan besi dan diberi tangkai panjang dari kayu untuk pegangan.
Masyarakat Lubai dahulu, kurang mengenal alat ini. Pada saat ini
masyarakat Lubai telah menggunakan Cangkul untuk keperluan pertanian
bekebun karet. Cangkul dalam babasa Lubai disebut Sehekup.
- Parang adalah pisau besar, akan tetapi lebih pendek daripada pedang.
Aada bermacam-macam jenisnya yaitu : Golok, lading. Ukuran dan bobot
bervariasi, seperti halnya bentukpisau. Golok sering digunakan untuk
memotong semak dan cabang. Golok secara tradisional dibuat dengan kenyal
baja, biasanya bekas per kendaraan roda empat. Kelewang adalah n pedang
pendek yang bilahnya makin ke ujung makin lebar.
- Tengkuet adalah untuk merumput. Alat ini berupa pisau bergagang, bentuknya agak melengkung.
- Tuai adalah untuk memotong padi ketika panen. Alat ini berupa pisau kecil deberi pegangan tangan dari kayu.
- Pahat Nakok adalah untuk mengambil getah karet. Alat ini berupa lempengan besi, bentuknya siku dan tajam.
Senjata tradisional
Senjata : yang digunakan untuk membela diri masyarakat Lubai sebagai
berikut : Keris dalam bahasa Lubai ”kehis”, biasanya dimiliki secara
turun te-murun. Tumbak Lade adalah sejenis Badik (Lampung), senjata ini
mirip pisau dan biasanya penuh dengan karatan dan banyak racun. Tombak
dalam bahasa Lubai ”kujur”.
Tempat berlindung
Tempat berlindung suku Lubai :
- Rumah adat Lubai : Rumah berbentuk Limas yang merupakan ciri khas
wilayah dari Kesultanan Palembang Darussalam, Daerah Lubai merupakan
bagian dari Kesultanan Palembang. Rumah adat didirikan di atas panggung,
berbentuk memanjang, yang biasanya pembangunan menggunakan Kayu Unglin
dan Tembesu. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah
tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut
Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti
hajatan. Para tamu biasanya diterima di teras atau lantai kedua. Saat
ini rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya
lebih besar dibandingkan membangun rumah biasa. Selain rumah adat
masyarakat Lubai membuat rumah panggung biasa dan membangun rumah semi
permanent/permanent mengikuti gaya modern saat ini.
- Dangau : Bangunan tempat berteduh di Ladang dan Kebon karet.
Masyarakat Lubai biasanya membuat Danggau bentuk panggung, menggunakan
tiang kayu Bulat dan atapnya dari pohon Palm dalam bahasa Lubai disebut
Sehedang.
- Punduk : Bangunan tempat berteduh di Ladang dan Kebon karet.
Masyarakat Lubai biasanya membuat Punduk bentuk panggung, sebagiannya
ada juga tidak berbentuk panggung melainkan berlantai tanah.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian suku Lubai ditinjau dari beberapa periode :
- Periode tahun 1950-1980: Mata Pencaharian masyarakat Lubai sebagian
besar hidup dari tanahnya menjadi peladang yang berpindah, bercocok
tanam Pisang, Ubi Kayu, berkebon Karet atau Para. Selain menjadi petani,
sebagian lagi ada yang beternak Ayam. Berburu Rusa dan menangkap ikan
di Sungai Lubai.
- Pada periode tahun 1990-2010 : Mata Pencaharian masyarakat Lubai
mayoritas masyarakat menjadi petani kebun Karet atau para. Sebagian lagi
orang Lubai ada yang menanam Nanas dan Jeruk. Mata pencaharian penduduk
yang lain, ada yang menjadi Guru, Pegawai Negeri Sipil, sub keagenan
Getah Karet. Getah Karet ini biasanya oleh petani dijual setiap hari
Rabu, kepada sub keagenan. Keagenen atau sering juga disebut tokeh Karet
berada di Kota Prabumulih.
Upacara Pernikahan
- Tahap Melamar. Dalam ritual pernikahan Adat Lubai tahap ini adalah
pihak keluarga mempelai laki-laki melamar ke keluarga mempelai perempuan
dengan membawa sejumlah persyaratan, di antaranya kebutuhan pokok yang
diambil dari hasil bumi sendiri. Dalam upacara ini, ada istilah
“behantat bekendak” artinya menyerahkan tanda keinginan keluarga calon
mempelai laki-laki yang bermaksud menyunting calon mempelai perempuan.
- Tahap Serah-serahan. Tahap ini adalah suatu proses penyerahan barang
bawaan dari keluarga laki-laki yang menandai selesainya proses lamaran.
Dalam serah-serahan tersebut biasanya pihak keluarga mempelai pria
menyerahkan Dodol sebanyak 100 mukun, 150 mukun bahkan sampai 250 mukun
dan Kue Gula Kelapa. Jika keadaannya memungkinkan, calon mempelai
laki-laki juga menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga calon mempelai
perempuan sebagai tanda pengikat pernikahan.
- Upacara akad nikah: Calon mempelai laki-laki diiringi oleh rombongan
keluarga yang terdiri sanak keluarga, tokoh adat, datang berkunjung ke
rumah calon mempelai perempuan untuk meminta dilaksanakan akad nikah.
Pada prosesi ini biasanya pihak keluarga calon mempelai laki-laki
membawa Jujur yaitu uang yang diminta si calon mempelai perempuan dan
dinah empat berupa Keris dan seperangkat alat makan sirih untuk
diserahkan kepada keluarga calon mempelai perempuan.
Organisasi sosial
Desa yang dalam bahasa Lubai disebut Dusun. Desa di Lubai pada
dasarnya tidak ada pembagian-pembagiannya seperti : Daerah kediaman
utama yang merupa pusat dari desa dan Daerah peladangan. Desa di Lubai
terdiri dari beberapa Dusun yang di pimpin oleh seorang Kepala Dusun.
Pemangku Adat.
Untuk melestarikan adat istiadat di Lubai dibentuk Lembaga Pemangku
Adat Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lubai biasanya untuk
membedakan antara tempat tinggal utama di desa berupa Rumah dan di
ladang berupa Dangau. Sebagian besar penduduk Lubai tinggal di Daerah
Desa dan hanya pada waktu-waktu tertentu mereka pergi keladang dalam
basah Lubai Ume.
Kesenian
Kesenian Suku Lubai sejak zaman nenek moyang dulu telah
diapresiasikan yaitu, Seni Musik : Gitar tunggal /betembang lagu daerah,
Jeliheman : yaitu cerita rakyat Lubai, be andai-andai, Muneng-munengan
(Teka teki) dan Bebalas pantun.
Lubai Perantauan
Lubai perantauan merupakan istilah untuk suku Lubai yang hidup di
luar Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan,
Indonesia. Merantau merupakan sebuah kegiatan meninggalkan kampung
halaman, sanak keluarga untuk mengadu nasib di negeri orang. Jumlah
Lubai perantauan saat ini berjumlah 15.000 jiwa tersebar diseluruh
Nusantara. Untuk menjalin komunikasi antara Suku Lubai di kampung
halaman dan Lubai Perantauan telah dibentuk
Forum Komunikasi Lubai Bersaudara.
0 komentar