Pranata Sosial

Sunday, January 30, 2011 di 6:15 PM
Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat didalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.

Berdasarkan definisi diatas penulis akan membuat suatu kajian Pranata Sosial Masyarakat Lubai secara singkat sebagai berikut :

Hak Milik. 
Masyarakat Lubai sangat menjunjung tinggi hak milik : perorangan, keluarga, kekerabatan dan hak pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi bahwa masyarakat Lubai adalah penganut agama islam yang baik. Hak milik tanah pekarang rumah, tanah peladangan, tanah perkebunan, hutan belukar, hutan rimba, balong atau tebat, dan danau; Seseorang yang mengaku hak milik orang lain, akan diangap tidak bermoral dan akan mendapat hukuman sosial dari masyarakat Lubai. Namun sayang seiring dengan waktu, peralihan generasi tua ke muda yang tidak berhasil menanamkan nilai-nilai moral yang baik seperti generasi sebelumnya, maka nilai-nilai moral yang luhur itu semakin terkikis dengan berubah pola pikir masyarakat ke aura materi. Saat ini pengakuan terhadap hak milik itu mulai tidak nampak nyata, apalagi kalau pemilik itu sudah lama merantau, maka dapat saja hak milik itu berpindah hak kepemilikinya. Bahkan ada sebagian masyarakat Lubai menganggap hal itu wajar-wajar saja berpindahnya hak kepemilikan ini, karena sipemilik tidak mengurusnya lagi maka lahan itu dianggap lahan tak bertuan atau dianggap tidak bertuan. 

Sistem Perkawinan. 
Masyakarakat Lubai dahulu mempunyai simbol-simbol adat istidat Sistem Perkawinan, yang harus dilaksanakan. Beberapa tahap yang harus dilalui seperti tahap perkenalan antara si bujang dengan si gadis, tahap betepek barang "memberikan suatu barang kepada pihak sigadis", tahap ngule "memberikan bantuan tenaga maupun bendah kepada keluarga pihak gadis", tahap memadukan rasan "utusan pihak sibujang bekunjung keluarga si gadis", tahap benghantat dudul "mengantar dodol permintaan sigadis", tahap mengantarkan uang permintaan si gadis dalam bahasa Lubai disebut "jujur" dan sebagainya. Pada masa kini kebanyakan perkawinan dan pembentukan keluarga adalah atas dasar cinta romantis. Perkembangan sistem pendidikan modern dan proses informasi yang mudah didapat menyebabkan muda mudi Lubai bebas mencari jodoh sendiri. Campur tangan ibu bapa, agak minimal, kalau ada pun dalam urusan peminangan dan pelaksanaan perkawinan sahaja yang dilakukan mengikut ketetapan adat. Oleh karena bebas mencari jodoh sendiri, faktor-faktor seperti ikatan kekeluargaan, latar belakang keluarga, kedudukan ekonomi dan taraf sosial keluarga, dan lain-lain bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan jodoh. 

Religi 
Dahulu masyarakat Lubai sangat taat terhadap ajaran islam. Rajin menjalan perintah Allah yaitu rukun islam dan mengaplikasinya pada kehidupan sehari-harinya. Seperti sholat, berpuasa bulan Ramadhan, membayar zakat pertanian sehabis panen, menunai ibadah Haji. Menjauhi larangan Allah seperti : tidak boleh mengakui hak milik orang lain, karena dalam ajaran agama islam seseorang mengakui atau mengambil manfaat sesuatu benda milik orang lain tanpa izin merupakan perbuatan mungkar. Saat ini berdasarkan yang dialami keluarga penulis beberapa puluh hektar tanah yang telah dimanfaat oleh pihak lain, tanpa izin dari kami sekeluarga. Apakah yang melakukan ini masih mengangap bahwa dirinya adalah manusia yang menjalankan agama islam secara baik dan benar atau manusia religi. 

Sistem Hukum 
Dahulu dikenal dengan adanya hukum Marga Lubai, Ayahanda penulis merupakan salah satu dari tokoh masyarakat Lubai yang pernah menjadi Anggota Dewan Marga Lubai Suku I. Pada saat itu beberapa hukum adat baik yang tertulis maupun tidak dapat berjalan sebagaiman mestinya. Saat ini hukum adat sudah semakin kurang kekuatannya. Lembaga Adat hanya merupakan simbol bahwa adat istiadat Lubai harus dilestarikan. Kewajiban harus melaporkan kepada lembaga adat jika akan melaksanakan pernikahan, akan tetapi Lembaga Adat tidak dapat memberikan sanksi hukum terhadap seseorang yang tidak melaporkan perihal pernikahan. 

Sistem kekerabatan
Masyarakat Lubai dahulu sangat terstuktur bahwa masyarakat Lubai menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan pihak ayah. Dalam bahasa Lubai khususnya masyarakat desa Jiwa Baru Lubai disebut Guguk atau Jurai. Guguk Pengiran merupakan kaum bangsawan merupakan kelompok masyarakat kedudukannya tertinggi, guguk penghulu merupakan kaum keturunan tokoh agama Islam, guguk kurungan lembak/guguk brak "keturunan puyang Lebi", guguk kurungan dahat "keturunan puyang tande". Untuk memanggil adik Ayah yang prempuan dipanggil dengan "Ibungan", adik Ibu yang prempuan dipanggil dengan "Bibi", sebutan isteri paman dipanggil Munting, dansebaginya. Seorang menantu selain memanggil Ayah dan Ibu (bahase Lubai Bak dan Umak) kepada orang suaminya/isterinya maka terhadap paman/bibi /uak dipanggil dengan sebutan yang sama yaitu Bak atau Umak. Sistem kekerabatan masyarakat Lubai saat ini, tidak jelas apakah menganut system kekerabatan patrilineal “kekerabatan pihak ayah” system kekerabatan matrilineal “kekerabatan pihak ibu” atau bahkan ada yang menganut kedua system ini. 

Sistem Pendidikan.
Masyarakat Lubai menggangap sistem pendidikan ini sangat penting. Dari periode zaman penjajahan Belanda pendidikan formal ini anak masyarakat biasa hanya sampai dengan pendidikan Sekolah Rakyat ”SR” dan anak seorang Depati atau adipati dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Periode awal kemerdekaan sampai dengan sekarang pendidikan formal telah banyak di ikuti oleh anak-anak masyarakat Lubai dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Untuk pendidikan non formal masyarakat Lubai mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh tokoh adat untuk ketrampilan kesenian dan adat istiadat; Kegiatan diselenggarakan oleh tokoh agama untuk ketrampilan membaca Al Qur’an dan pembentukan akhlak karimah; Kegiatan diselenggarakan oleh tokoh masyarakat untuk ketrampilan pertanian Karet yang unggul. Untuk pendidikan in formal masyarakat Lubai melaksanakan sesuai dengan adat istiadat yang ada saat ini.

    Perangkap Ikan

    di 6:00 PM
    Perangkap ikan tradisional Lubai adalah Bubu, Sehue, Gabul dan Pukat. Alat perangkap ikan ni biasanya ditempatkan pada sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Masyarakat Lubai pada zaman dahulu, untuk memenuhi kebutuhan proteinnya yaitu dengan cara menangkap ikan disungai-sungai dikarenakan pada saat itu belum ada yang membudidayakan ikan.

    Bubu 

    Sebuah Bubu yang merupakan perangkap menangkap ikan sederhana, berbentuk bulat berdiri sekitar satu meter dengan berbentuk lengkungan gerbang ukuran yang semakin berkurang diadakan bersama oleh beberapa tiang untuk mendukung tulang. Sarana yang dipergunakan untuk membuat sebuah Bubu yaitu menggunakan Bambu sebagai bahan utama, Rotan sebagai pengikat, dan Akar digunakan untuk membentuk lingkaran sehingga bentuk Bubu dapat dibentuk dengan mudah. Anyaman bambu berbentuk kerucut mengecil masuk ke lubang kecil di tengah agar memudahkan menangkap ikan masuk yang berkeliaran bebas dalam batas-batas batas yang tipis, ikan tersebut tak mampu untuk keluar kembali melalui jalan lorong itu yang disebut dalam bahasa Lubai injap bumbu.

    Sehue

    Sebuah Sehue yang merupakan perangkap menangkap ikan sederhana, berbentuk bulat berdiri sekitar panjang 50 sentimeter dan berbentuk lengkungan gerbang ukuran yang semakin berkurang diadakan bersama oleh beberapa tiang untuk mendukung tulang. Sarana yang dipergunakan untuk membuat sebuah Sehue yaitu menggunakan Bambu sebagai bahan utama, Rotan sebagai pengikat, dan Akar digunakan untuk membentuk lingkaran sehingga bentuk Sehue dapat dibentuk dengan mudah. Anyaman bambu berbentuk kerucut mengecil masuk ke lubang kecil di tengah agar memudahkan menangkap ikan masuk yang berkeliaran bebas dalam batas-batas batas yang tipis, ikan tersebut tak mampu untuk keluar kembali melalui jalan lorong itu yang disebut dalam bahasa Lubai injap Sehue.

    Gabul

    Sebuah Gabul yang merupakan perangkap menangkap ikan sederhana, berbentuk bulat terdiri dari sebatang Bambu yang dibelah dibagian salah satu ujung saja, sementara dibagian ujung yang lainnya dibiarkan utuh. Sarana yang dipergunakan untuk membuat sebuah Gabul yaitu menggunakan Bambu sebagai bahan utama, Rotan sebagai pengikat, dan Akar digunakan untuk membentuk lingkaran sehingga bentuk Gabul dapat dibentuk dengan mudah.

    Catatan 

    Ayahanda penulis biasanya memasang Bubu ketika musim Banjir Batanghari Lubai di Daerah Datau Tehap dan Muara Batanghari Pegang Desa Jiwa Baru. Pada musim ini ikan yang berkeliaran sangat banyak di sikitar rawa-rawa Lebak Lubai. Nenek moyangku telah mewariskan kepada kami anak cucunya tempat menangkap ikan yang strategis, karena pada areal itu sebagian ada yang kena banjir dan sebagian tidak.

    KAJIAN SANAK | Powered by Blogger | Entries (RSS) | Comments (RSS) | Designed by MB Web Design | Thanks to Blogger Templates | XML Coded By Cahayabiru.com